Ketika Asing dalam Satu Atap (Dialog dalam Rumah; Reflektif dari Film Diorama) Ruang Teduh #3

SBMH

Ruang Respect Kolektif Collaboraction Space menjadi tempat yang kami pilih untuk melaksanakan kegiatan Ruang Teduh #3 dengan topik pembahasan Ketika Asing dalam Satu Atap. Ruang Teduh #3 yang dilaksanakan pada Jumat, 28 Juni 2024 ini berusaha mengangkat isu-isu sosial yang terjadi di kalangan masyarakat dengan berusaha memberikan ruang untuk peserta yang mana terdiri dari POV orang tua dan dari POV anak. Menjelang sore hari, kegiatan ini dimulai dengan menayangkan Film Diorama, lalu peserta diminta untuk menanggapi film tersebut yang dikaitkan dengan pengalaman mereka masing-masing secara pribadi.

Kegiatan ‘Ruang Teduh’ bertujuan untuk membangun dan mendukung program inisiatif untuk meningkatkan kualitas kehidupan remaja dan keluarga, terutama mereka yang memiliki risiko kesehatan mental. Kampanye ini sebagai suatu fungsi yang ada dalam meningkatkan kesadaran kesehatan mental melalui adanya kampanye pendidikan dan memicu percakapan untuk melayani dan mengadvokasi kesadaran kesehatan mental di berbagai komunitas. Ruang Teduh merupakan salah satu kegiatan yang diinisiasi oleh SBMH (School Based Mental Health) agar kita bisa lebih memperhatikan kesehatan mental dengan kampanye #connecttocare yang dibersamai oleh Lembaga Advokasi Keluarga Indonesia.

Curhat dari hati ke hati dimulai dari moderator yang menanyakan mengenai, ”Bagaimana pendapat teman-teman mengenai komunikasi antara anak dan orang tua?”. Beberapa peserta berusaha memberikan pendapat serta pandangan mereka dalam hal membangun  komunikasi antara anak dan orang tua.

“Saya berada di generasi tengah-tengah kalau dalam diskusi kali ini. Saya merasakan sebagai ibu, tapi saya juga merasakan menjadi seorang anak. Terkadang memang kita terlalu banyak menyalahkan orang tua kita, padahal mereka sudah berusaha dengan standarnya mereka. Jangankan berusaha membangun komunikasi dengan anak, mengusahakan dirinya sendiri saya sudah capek sendiri. Menurut saya, harus saling berprasangka baik antara orang tua dan anak untuk bisa memulai sebuah komunikasi.”
POV orang tua.

“Sebagai anak, kadang saya takut di-judge sama orang tua, takut orang tua tidak bisa mengerti. Kadang-kadang anak ngga tahu cara berkomunikasi secara asertif, jadi terkesan agresif saat berkomunikasi dengan cara silent treatment atau bahkan langsung meledak marah-marah. Lalu, saat kita ingin cerita tapi posisinya orang tua pulang kerja, pasti capek rasanya. Saya sebagai anak ngga mau nambah-nambahin beban orang tua saya. Sebenernya kita juga tahu struggle-nya orang tua kita, tapi mereka juga ngga pernah cerita gimana beratnya. Jadi, kita ngga terbuka ke orang tua ya karena orang tua ngga terbuka ke anak.”
POV anak.

Kedua jawaban tersebut sudah cukup memberikan gambaran bahwa orang tua dan anak memiliki pandangannya masing-masing mengenai sebab dan akibat mereka tidak melakukan komunikasi dengan baik di keluarga. Dimulainya percakapan ini menjadi sebuah awalan yang seru untuk melanjutkan ke pertanyaan selanjutnya yang diberikan oleh moderator kepada seluruh peserta, “Bagaimana caranya memperlancar komunikasi di keluarga?”.

“Salah satu caranya adalah sabar, sabar dan mau untuk mendengarkan keluhan dari anak-anak kita. Mungkin dari diri kita sendiri bisa memulai untuk membuka diri, mulai bertanya ke anak tentang keseharian mereka dan berusaha untuk memvalidasi perasaannya. Dari situ anak akan merasa dilindungi, lalu berinisiatif untuk membuka obrolan mengenai keadaannya saat ini. Mungkin ini bisa menjadi alternatif solusi untuk ‘saling’ tadi.”
POV orang tua.

“Orang tua itu kan posisinya ada di atas, jadi susah untuk ditegur karena mereka gengsi kalau ditegur anak. Sebagai anak yang masih ada waktu untuk belajar, maka kita harus berusaha untuk memberitahu orang tua mengenai bagaimana yang harus mereka lakukan untuk bisa memperbaiki cara komunikasi antara orang tua dan anak. Saya belajar untuk mengungkapkan perasaan dengan asertif dan tidak bertele-tele seperti, “Ma, aku kalo sedih pengen dipeluk aja jangan diomelin terus” atau “Aku rasanya sakit hati kalau mama bicara sambil teriak-teriak”. Jadi, saya benar-benar kasih tau apa yang saya mau, akhirnya mama ngikutin cara saya dan mau terbuka untuk bisa dengerin keluhan anak-anaknya.”
POV anak.

Nadia Eka Rahmayanti M. Psi., Psikolog sebagai fasilitator kegiatan Ruang Teduh #3 ini menanggapi jawaban para peserta bahwa untuk bisa berkomunikasi secara asertif itu bisa dimulai dengan “I statement” yang maksudnya adalah mengungkapkan perasaan dimulai dengan subjek ‘saya/aku’ sebagai awalan kalimat, contohnya seperti “Aku merasa sedih kalau mama seperti itu.” Gaya berkomunikasi seperti ini akan memfokuskan pada perasaan seseorang yang berusaha menjelaskan perasaannya.

————————————

Banyak sekali lho program-program yang dibuat oleh Yayasan Rumpun Nurani dalam usaha untuk memperhatikan kondisi kesehatan mental diri sendiri atau orang-orang yang ada di sekitar kita. Ada kampanye kesehatan mental #connecttocare yang dibersamai oleh Lembaga Advokasi Keluarga Indonesia, serta masih banyak lagi program-program lainnya.
Yuk, cek dan follow Instagram @rumpunnurani untuk tau lebih banyak kegiatan lainnya!

Penulis :
Ratna Atika F

Rekomendasi Artikel Lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Jangan Lewatkan Update Terbaru dari Kami!

Berlangganan newsletter kami sekarang untuk menerima artikel inspiratif, berita terkini, dan informasi penting lainnya, Gratis!