Sejak kecil, kebanyakan dari kita tentu telah akrab dengan informasi mengenai Isra Mikraj. Isra Mikraj dibagi dalam dua peristiwa, yaitu Isra dan Mikraj. Isra berarti perjalanan Nabi Muhammad ﷺ dari Masjid al-Haram di Mekah menuju ke Masjid al-Aqsa di Palestina pada malam hari. Sedangkan Mikraj berarti perjalanan Nabi ﷺ dari Masjid al-Aqsa melewati langit ketujuh di Sidratulmuntaha. Singkatnya, Isra Mikraj adalah perjalanan Nabi ﷺ dari Mekah menuju ke Sidratulmuntaha.
Isra Mikraj menjadi salah satu peristiwa penting bagi umat Islam karena menunjukkan kebesaran Allah. Maka dari itu, mempelajari peristiwa Isra Mikraj menjadi hal yang penting. Lantas, apakah kita sudah benar-benar mempelajarinya?. Sudahkah kita mengetahui latar belakang dari perjalanan luar biasa ini?. Serta, sudahkah kita mengetahui kenapa Isra Mikraj terjadi saat malam hari dan bukan siang hari?. Tulisan ini akan memuat jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dan memaparkan berbagai informasi unik mengenai Isra Mikraj.
Isra Mikraj Merupakan Salah Satu Cara Allah Menghibur Kekasihnya-Nya
Pada dasarnya, hidup merupakan perjalanan dari suatu ujian menuju ke ujian berikutnya. Selama masih bernafas, tidak ada manusia yang lepas dari ujian, termasuk Nabi Muhammad ﷺ, manusia yang paling Allah cintai. Sebelum peristiwa Isra Mikraj terjadi, Nabi ﷺ mengalami kesedihan yang luar biasa yang dikenal dengan amul huzni.
Nabi ﷺ kehilangan dua orang yang paling beliau cintai di dunia ini, yaitu istrinya, Khadijah radiyallahu anha dan pamannya, Abu Thalib. Keduanya merupakan sosok penting dalam hidup Nabi ﷺ. Khadijah dengan setia mendampingi Nabi ﷺ berdakwah dan memberikan hartanya untuk kepentingan dakwah Islam. Sedangkan Abu Thalib berperan penting untuk melindungi Nabi ﷺ berdakwah dengan aman di Mekah dari gangguan kaum Quraisy. Sepeninggal Abu Thalib, musuh-musuh umat Islam menjadi leluasa mengganggu dakwah Nabi ﷺ.
Pada saat itu, Nabi ﷺ juga ditolak dengan kejam oleh orang-orang Thaif. Beliau pergi ke Thaif dan menyeru penduduk di sana untuk beriman kepada Allah, menerima Islam, dan menjadi penolong agama Allah. Namun mereka justru menolak Nabi ﷺ dan ajaran yang beliau bawa. Dengan semua kondisi menyulitkan tersebut, Allah “menghibur” Nabi ﷺ melalui mukjizat besar, yaitu Isra Mikraj.
Nabi Muhammad ﷺ Bertemu Dengan Para Nabi
Para ulama berbeda pendapat mengenai perjalanan Nabi Muhammad ﷺ dari Baitul Maqdis menuju Sidrathulmuntaha, apakah perjalanan tersebut dilakukan secara fisik atau secara rohani saja. Mayoritas ulama Sunni memahami bahwa yang diperjalankan Allah ke Sidratulmuntaha adalah Nabi Muhammad ﷺ secara utuh, lahir dan batin. Sebagian ulama lainnya memahami bahwa perjalanan Mikraj merupakan perjalanan ruhani. Terlepas dari perbedaan tersebut, yang pasti perjalanan ini merekam berbagai pemandangan spiritual bagi Nabi ﷺ dan tentunya menjadi pelajaran penuh hikmah bagi kita sebagai umatnya.
Nabi Muhammad ﷺ bertemu dengan para nabi saat menuju ke Sidratulmuntaha. Di langit pertama, Nabi ﷺ bertemu dengan Nabi Adam alaihissalam, Nabi Isa alaihissalam dan Yahya alaihissalam dilangit kedua, Nabi Yusuf alaihissalam dilangit ketiga, Nabi Idris alaihissalam dilangit keempat, Nabi Harun alaihissalam dilangit kelima, Nabi Musa alaihissalam dilangit keenam, dan Bapak Para Nabi yaitu Nabi Ibrahim alaihissalam dilangit ketujuh. Disetiap tingkatan langit, Nabi Muhammad ﷺ mengucapkan salam kemudian dijawab serta disambut oleh para nabi-nabi yang beliau temui.
Allah Memerintahkan Hamba-Nya Untuk Melaksanakan Salat
Setelah melewati langit ketujuh, Nabi ﷺ dibawa oleh malaikat Jibril ke Sidratulmuntaha yang di dalamnya terdapat pohon-pohon besar dengan ukuran daun selebar telinga gajah. Jibril menjelaskan pada Nabi ﷺ bahwa Sidratulmuntaha memiliki empat aliran Sungai, yaitu dua sungai batiniyah dan dua sungai lahiriyah. Dua sungai batiniyah berada di surga dan dua sungai lahiriyah adalah Nil dan Eufrat.’
Nabi ﷺ kemudian disuguhkan minuman yang terdiri dari segelas khamar, segelas susu, dan segelas madu. Beliau memilih segelas susu. Kemudian Allah memberikan kewajiban kepada Nabi ﷺ dan seluruh umatnya untuk melaksanakan salat lima puluh waktu sehari semalam. Dalam perjalan untuk kembali, Nabi ﷺ bertemu dengan Nabi Musa alaihissalam. Beliaupun berkata,
“Umatmu tidak akan sanggup melakukannya. Demi Allah, aku pernah mencobanya pada manusia sebelum kamu, aku pun pernah memaksakan Bani Israil dengan serius. Kembalilah kepada Allah, mintalah keringanan bagi umatmu.”
Nabi ﷺ lalu kembali kepada Allah untuk meminta keringanan terkait kewajiban salat. Perintah salat yang awalnya lima puluh waktu sehari semalam dikurangi menjadi empat puluh, kemudian dikurangi lagi menjadi tiga puluh, dua puluh, sepuluh, hingga akhirnya lima kali sehari semalam. Mengetahui hal tersebut, Nabi Musa alaihissalam kembali menganjurkan agar Nabi Muhammad ﷺ meminta keringanan kepada Allah. Namun, Nabi ﷺ merasa malu karena terus-menerus meminta keringanan.
Kalau Nabi ﷺ mencintai kita -para umatnya- dengan begitu luar biasa, hingga terus memohon keringanan kepada Allah karena khawatir kita tidak akan sanggup menjalankan syariat-Nya, lantas, masihkah kita pantas untuk terus-menerus melalaikan salat? Padahal Nabi ﷺ sudah berjuang seluar biasa itu untuk kita.
Pesan cinta tentang kalimat luar biasa yang menjadi tanaman di surga
Saat Nabi ﷺ bertemu dengan Nabi Ibrahim alaihissalam, beliau menyampaikan pesan cinta untuk kita:
“Perintahkanlah pada umatmu untuk membiasakan memperbanyak (bacaan dzikir) yang nantinya akan menjadi tanaman surga, tanahnya begitu subur, juga lahannya begitu luas.” Nabi ﷺ bertanya, “Apa itu tanaman surga?” Ia menjawab, “Laa hawla wa laa quwwata illa billah.” (HR. Ahmad)
Siapa yang tidak suka tanaman-tanaman indah yang menyegarkan mata dan jiwa?. Kalau kita memilikinya surga, tentu akan indah sekali. Keindahan yang tidak dapat dibayangkan oleh akal kita sebagai manusia.
Nabi Ibrahim alaihissalam berpesan agar kita memperbanyak membaca kalimat laa hawla wa laa quwwata illa billah karena kalimat ini akan menjadi tanaman di surga. Namun, perlu ditekankan bahwa kalimat laa hawla wa laa quwwata illa billah bukanlah menjadi ritual khusus yang dibaca pada malam Isra Mikraj.
Isra Mikraj mengajarkan tentang rahasia malam
Pernah terlintas tentang pertanyaan ini tidak, mengapa Isra Mikraj terjadi pada malam hari dan bukan siang hari?
Allah berfirman:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَاۚإِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Isra’: 1)
Segala sesuatu yang Allah sebut dalam Al-Quran pasti memiliki makna, termasuk kata “lail” yang terdapat dalam QS. Al-Isra tersebut. Kata “lail” mengisyaratkan bahwa malam merupakan rahasia untuk mencapai ketinggian dan martabat utama di sisi Allah. Seolah jarak spiritual antara kita sebagai hamba dengan Allah lebih dekat saat malam hari. Malam hari memang identik dengan kegelapan. Namun dalam kegelapan itulah kita justru menemukan keheningan, kepasrahan, kesyahduan, ketenangan, dan kekhusyukan saat berdoa kepada Allah. Suasana ini mungkin jarang kita dapatkan saat siang hari karena sibuk dengan berbagai urusan duniawi.
Penulis : Dewi F. Sulistyaningrum