Menapak Jejak Ibrahim: Antara Kurban dan Ujian Cinta Tertinggi

Table of Contents

Iduladha selalu menjadi momen istimewa bagi umat Islam di seluruh dunia. Di hari itulah, jutaan orang menyembelih hewan kurban sebagai bentuk ibadah dan ketaatan kepada Allah. Namun, di balik aktivitas itu, tersimpan makna yang jauh lebih dalam dari sekadar menyembelih kambing atau sapi. Ia adalah napak tilas spiritual atas jejak seorang hamba yang cintanya kepada Allah melebihi cintanya pada apa pun—yakni Nabi Ibrahim.

Sering kali kurban hanya dipahami sebagai seremonial tahunan yang diikuti dengan pembagian daging. Padahal, jika kita menyelami esensi kisah yang melandasinya, kurban justru merupakan momentum untuk merenungkan ulang kualitas hubungan kita dengan Allah. Apakah kita benar-benar tunduk? Apakah kita mampu mencintai-Nya tanpa syarat, bahkan ketika perintah-Nya merobek kenyamanan kita?

 

Makna Kurban

Kurban berasal dari kata qaruba yang berarti mendekat. Dalam konteks ibadah, ia adalah bentuk pengorbanan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah. Namun, bukan darah dan daging yang menjadi esensi utamanya. Allah menegaskan dalam Al-Qur’an (QS. Al-Hajj: 37) bahwa yang sampai kepada-Nya hanyalah ketakwaan kita. Artinya, kurban adalah proses membersihkan niat, merobek ego, dan melepas apa yang kita cintai demi Allah.

Melalui ibadah ini, kita diajak untuk menyembelih “bagian diri” kita sendiri: keserakahan, kemelekatan, ambisi kosong, atau cinta berlebih terhadap dunia. Kurban menjadi alat refleksi—apa yang selama ini kita pertahankan mati-matian, padahal Allah ingin kita lepaskan? Karena pada akhirnya, kedekatan dengan Allah tak dibangun di atas apa yang kita miliki, tetapi apa yang berani kita relakan untuk-Nya.

 

Ibrahim dan Ismail: Simbol Ketaatan pada Allah

Kisah Ibrahim dan Ismail adalah puncak perwujudan cinta dan ketaatan yang tak tergoyahkan. Ketika Allah memerintahkan Ibrahim menyembelih anaknya, Ismail, ujian itu datang bukan untuk menyiksa, tapi untuk menguji. Ibrahim tidak menawar, tidak meminta waktu, tidak mencari dalih. Ia patuh. Dan Ismail pun, sebagai anak yang baru tumbuh remaja, dengan tenang menerima takdir itu tanpa memberontak.

Keduanya menjadi simbol keiman sejati yang kadang kala ia menabrak rasa. Tapi justru di situlah terletak nilainya. Allah tak pernah benar-benar menginginkan darah Ismail. Yang Allah ingin lihat adalah: adakah sesuatu yang lebih dicintai Ibrahim dibanding-Nya? Dan ketika Ibrahim menjawab dengan tindakan, bukan kata, Allah cukupkan ujian itu. 

 

Setiap Kita Perlu Menjadi Ibrahim

Dalam hidup ini, kita semua punya “Ismail” masing-masing—sesuatu yang kita cintai, kita jaga, dan enggan kita lepaskan. Bisa jadi itu karier, pasangan, ambisi, status sosial, atau bahkan kebiasaan buruk yang membuat kita nyaman. Menjadi Ibrahim berarti bersedia menempatkan Allah di atas semua itu. Siap untuk tunduk, bahkan jika perintah-Nya bertentangan dengan keinginan hati dan logika kita.

Pengorbanan hari ini tidak selalu berbentuk penyembelihan. Kadang, ia hadir dalam bentuk menunda kesenangan pribadi demi kebaikan keluarga, atau mengikhlaskan seseorang demi menghindari terjebak dalam hubungan yang Allah laranf. Semua itu adalah bentuk kurban. Setiap kali kita memilih Allah di atas kenyamanan, kita sedang menapak jejak Ibrahim. 

 

Penutup

Menapak jejak Ibrahim adalah panggilan bagi siapa pun yang mengaku beriman. Ia bukan hanya tentang mengenang kisah ribuan tahun silam, tapi tentang menghidupkan kembali semangat pengorbanan itu dalam kehidupan hari ini. Ini tentang keberanian untuk menyerahkan hati sepenuhnya kepada-Nya. Dan Allah akan memberikan balasan terindah, lebih dari apa yang kita lepas karena-Nya.


Penulis: Dewi F. Ningrum

Rekomendasi Artikel Lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *