Pada hari Sabtu, 26 Juli 2025 lalu, kegiatan Ruang Teduh kembali digelar dengan tema: Kekuatan Cinta di Masa Sulit. Acara ini berlangsung dengan hangat bersama para peserta yang datang dengan harapan bisa menemukan perspektif yang baru tentang makna cinta itu sendiri, terutama ketika hidup sedang tidak berjalan dengan mudah. Tema ini dipilih karena ‘cinta’ sering kali menjadi energi terbesar yang menopang manusia dalam melewati masa-masa sulitnya. Kegiatan ini dipandu oleh Dinda selaku fasilitator yang akan membawa percakapan ke arah reflektif dan penuh cinta. ❤️
Perspektif yang Beragam Tentang ‘Cinta’
Pada awal diskusi, semua peserta mencoba mendefinisikan arti ‘cinta’ menurut perspektif masing-masing. Ada yang menyebutkan bahwa cinta itu didefinisikan sebagai kehangatan, kepedulian, dan ketenangan. Cinta adalah semangat yang membuat semuanya menjadi terasa lebih mudah untuk dilakukan. Beberapa peserta melihat cinta sebagai bentuk kerelaan seseorang untuk berkorban, bahkan sampai mengalahkan ego diri sendiri. Cinta juga bukan sekedar perasaan, melainkan sebuah tindakan nyata. Cinta itu sesederhana menyapa dengan penuh senyum atau menanyakan kabar. Dinda selaku fasilitator juga mendefinisikan cinta itu sebagai bentuk pilihan – seperti seseorang yang memiliki tanaman, ia memiliki pilihan untuk tetap menyirami tanaman tersebut atau akan membiarkan tanaman itu sampai layu.
‘Cinta’ Hadir di Masa-Masa Sulit
Pembahasan kemudian beralih ke pertanyaan: “Seperti apa ‘cinta’ hadir di masa-masa sulit?”.
Salah satu peserta menerangkan bahwa cinta itu bisa jadi bentuk pengorbanan dan motivasi. Misalnya, ketika ingin berbuat salah, ia harus mengingat bahwa bagaimana orang tuanya akan merasa kecewa. Jadi, rasa cinta terhadap keluarga itu menahannya dari keputusan yang keliru.
Peserta lainnya juga mengingatkan bahwa tidak semua orang itu tumbuh dalam lingkungan yang penuh cinta. Ada yang justru harus belajar dari nol untuk memahami arti mencintai dirinya sendiri. Menurutnya, “Value diri kita tidak bisa diukur dari cinta orang lain. Unconditional love itu dimulai dari diri sendiri dulu.”
Belajar Mencintai Diri Sendiri
Topik pembahasan ini kemudian mengerucut pada self-love. Dinda menekankan mengenai pentingnya mendengarkan diri sendiri: apa yang baik dan tidak baik bagi kita. Salah satu peserta juga mengaitkan hal ini dengan momen patah hati. Menurutnya, justru dari momen patah hati itu seseorang bisa tersadar bahwa ia harus lebih sayang kepada dirinya sendiri. Peserta lainnya menimpali bahwa fase patah hati itu terkadang membantu kita belajar untuk lebih sabar, peduli dengan diri sendiri, dan lebih bisa menghargai waktu yang ada.
Peserta lainnya mengingatkan bahwa tidak sehat kalau kita memberikan cinta 100% ke orang lain, hingga kehilangan diri sendiri. Dari sinilah muncul pertanyaan, “Kenapa ya orang susah untuk respect?” dan peserta lain menjawab, “Mungkin karena standar moral setiap orang itu berbeda-beda. Kadang yang menurut orang lain biasa aja, menurut kita bisa penting banget dan bikin kita sakit hati kalo disepelein.”
Cinta Adalah Energi
Dari diskusi ini, ada benang merah bahwa cinta itu bukan sekadar oerasaan romantis, tapi sebuah energi yang nyata dalam tindakan. Ia bisa hadir dalam bentuk senyuman kecil, pertolongan, keberanian untuk jujur pada diri sendiri, pengorbanan, hingga kemampuan seseorang dalam membangun batasan yang sehat. Apalagi saat melewati masa-masa sulit dalam hidup, cinta itu memberikan ruang untuk bertahan, memaafkan, dan terus melangkah.
Pada akhirnya, Ruang Teduh hari itu memberikan satu kesimpulan sederhana: “Cinta adalah pilihan sadar untuk terus peduli, ntah itu pada diri sendiri ataupun orang-orang di sekitar kita.”
Penulis: Ratna Atika Firzanty



