Di tengah budaya “SEMANGAT TERUS!” dan “JANGAN BAPER!” pasti kita sering mendengar istilah toxic positivity. Budaya tersebut membuat kita terjebak dalam toxic positivity—menekan diri sendiri untuk selalu terlihat bahagia dan positif mesti sedang merasa hancur atau marah di dalam diri. Padahal, menjadi manusia kita pasti merasakan seluruh spektrum emosi dalam diri, seperti marah, sedih, kecewa, lelah, senang, semangat, baper, dan lain-lain. Memaksakan diri untuk tetap “baik-baik saja” setiap saat justru bisa memperburuk kondisi mental. Sudah saatnya kita akhiri toxic positivity. Mari mulai belajar bahwa merasa lemah bukan berarti gagal—itu berarti kita sedang menjadi manusia seutuhnya.
Toxic positivity adalah kondisi ketika seseorang menuntut dirinya sendiri atau orang lain untuk selalu berpikir dan bersikap positif serta menolak emosi negatif (Adrian, 2024). Dalam kehidupan sehari-hari, tanpa sadar kita sering terjebak dalam toxic positivity. Contohnya, saat seseorang curhat lalu dibalas dengan, “Yuk, bersyukur aja!” atau “Pasti ada hikmahnya kok!”. Meski niatnya baik, respon tersebut bisa membuat orang merasa tidak didengar dan akhirnya memendam emosi karena mereka berpikir “Nanti kalau aku curhat, aku disuruh bersyukur dan mencari hikmah aja. Padahal kan aku sedih beneran sedih.” Alih-alih membantu, toxic positivity justru membuat kita merasa bersalah karena punya perasaan yang wajar. Padahal, sedih, kesal, marah, itu merupakan perasaan yang valid dan wajar. Semua emosi punya fungsinya masing-masing dan memprosesnya dengan sehat jauh lebih penting.
Setiap orang pasti pernah merasa sedih, kecewa, marah, takut, bahkan lelah. Itu semua bukanlah kelemahan, melainkan bagian dari menjadi manusia. Emosi negatif merupakan reaksi alami terhadap pengalaman hidup yang sulit, traumatis, atau menyakitkan. Ketika kita kehilangan sesuatu yang penting lalu muncul perasaan kecewa dan tertekan, itu merupakan suatu hal yang wajar. Hal yang tidak baik justru ketika kita berusaha selalu terlihat “Baik-baik saja” demi memenuhi ekspektasi orang-orang di sekitar kita atau karena takut dicap sebagai sosok yang lemah.
Memberi ruang untuk emosi negatif berarti mengizinkan diri kita merasakannya tanpa rasa bersalah. Kita berhak untuk sedih setelah kehilangan, kita boleh marah saat diperlakukan tidak adil, kita tidak perlu buru-buru menenangkan diri hanya karena takut membuat orang lain tidak nyaman. Validasi terhadap emosi sendiri adalah langkah awal untuk penyembuhan. Cukup dengan berkata dalam hati, “Aku boleh merasa begini,” artinya kita sedang belajar menerima dan memahami diri sendiri. Validasi emosi bukan berarti membenarkan semua tindakan yang muncul dari emosi negatif, tapi mengakui bahwa emosi itu ada, nyata, dan pantas untuk dirasakan. Dengan begitu, kita bisa melanjutkan proses penyembuhan tanpa memendam atau menyangkal perasaan yang seharusnya kita hadapi.
Say No to Toxic Positivity: Ini yang Perlu Kamu Lakukan!
- Terima Semua Perasaan yang Ada
Dalam menghadapi lika-liku kehidupan, pastinya kita pernah merasa sedih, kecewa, aau marah. Itu semua merupakan perasaan yang wajar. Ingat bahwa dalam kehidupan tidak semuanya langsung berhasil, tidak semuanya langsung bahagia. Menunda kebahagiaan bukan berarti gagal, tapi justru menunjukkan bahwa kita sedang memproses luka dan emosi secara utuh sebelum sembuh dan menerima.
- Jangan Gengsi untuk Mengakui Kalau Diri Kita Lemah
Jangan memaksa diri sendiri untuk selalu kuat dan baik-baik saja. Tidak perlu gengsi untuk mengakui bahwa diri sendiri sedang lemah. Justru, hal yang sehat bukanlah kita memaksa untuk baik-baik saja, melainkan saat jujur pada kondisi emosional diri. Mengakui bahwa kita sedang tidak baik-baik saja adalah bentuk penerimaan yang dewasa—sebuah langkah penting menuju pemulihan yang sehat.
- Jangan Memaksa Diri untuk Selalu Positif
Emosi negatif yang dirasakan bukanlah hal yang perlu disimpan atau disangkal (Adrian, 2024). Memaksakan diri untuk selalu positif dan menyangkal emosi negatif hanya akan memperparah kondisi mental. Kuncinya adalah kita menerima seluruh perasaan negatif ataupun positif dalam diri kita. Menurut Acceptance and Commitment Therapy (ACT), menerima semua perasaan kita baik positif maupun negatif adalah bagian dari proses penyembuhan dan kesejahteraan (Glasofer dalam CSDU FEB UGM, 2025).
Menjadi manusia berarti merasakan seluruh spektrum emosi—bukan hanya bahagia dan semangat, tapi juga sedih, marah, kecewa, dan lelah. Semua perasaan itu valid dan berharga. Hal itu menunjukkan bahwa kita hidup, peduli, dan berproses. Mari kita menghentikan budaya toxic positivity dan mulai belajar memvalidasi emosi, memberi ruang untuk merasa, dan menciptakan lingkungan yang lebih empatik, jujur, dan manusiawi.
Bersama School-Based Mental Health kita akan belajar lebih jauh untuk menerima diri, memahami emosi, dan membangun lingkungan yang sehat secara mental. Di sana, kita akan berada di lingkungan yang suportif, belajar bagaimana cara mengelola emosi dengan sehat, dan mendapat ruang aman untuk menjadi diri sendiri—tanpa tekanan untuk selalu terlihat kuat atau sempurna. Di Rumpun Nurani, kita diajak untuk menjadi manusia yang utuh: jujur, sadar, dan pulih bersama.
REFERENSI
Adrian, Kevin. (2024). Mengenal Lebih Jauh tentang Toxic Positivity. Diakses dari https://www.alodokter.com/mengenal-lebih-jauh-tentang-toxic-positivity.
CSDU FEB UGM. (2025). Positif Terus? Toxic Positivity Bisa Bikin Kita Stres, Lho!. Diakses dari https://karir.feb.ugm.ac.id/2025/04/29/positif-terus-toxic-positivity-bisa-bikin-kita-stres-lho/.
Penulis: Fatihah Wenny Rahmantika



