Dalam rangka merayakan Hari Anak Nasional, Tim SBMH (School Based Mental Health) mengadakan kegiatan Screening Film dan Dialog Bermakna pada hari Sabtu, 27 Juli 2024 di Ruang Audiovisual Perpustakaan Grhatama Pustaka Yogyakarta. Kami turut mengundang Psikolog Teman Baik, yaitu Ibu Sarita Meysaranda Matulu sebagai fasilitator pada kegiatan kali ini. Beliau akan memimpin diskusi mengenai film yang ditayangkan bersamaan dengan curahan hati para penonton. Film yang ditayangkan diantaranya ialah Film Phytagoras, Serenada, Memoar, dan Diorama. Film-film ini memiliki cerita dan sudut pandang yang berbeda-beda sehingga harapannya dapat memunculkan banyak perspektif dari penonton yang mungkin merasa relate dengan kisahnya.
SBMH (School Based Mental Health) merupakan suatu program yang berfokus pada kesehatan mental yang bekerja sama dengan LAKI (Lembaga Advokasi Keluarga Indonesia) untuk melakukan penelitian di beberapa sekolah yang telah bekerja sama dengan program ini. Screening film kali ini adalah yang ke-2 kalinya, dan insyaAllah akan dilaksanakan rutin supaya kita semua bisa berdiskusi mengenai kepedulian kita terhadap kesehatan mental. Kegiatan seperti ini tidak hanya untuk remaja, tetapi untuk orang tua dan guru yang berkontribusi juga terhadap kehidupan ‘remaja’ supaya dari film-film yang ditayangkan tersebut dapat memberikan berbagai perspektif dari banyak segmen.
Kegiatan ini dimulai dengan sambutan dari Perwakilan SBMH dan Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan DIY. Lalu, dilanjutkan ke acara yang utama, yaitu penayangan Film Phytagoras, Serenada, Memoar, dan Diorama yang difasilitatori oleh Ibu Sarita selaku Psikolog. Beliau meminta para penonton untuk menonton dengan seksama, lalu setelah selesai menonton setiap film, disediakan waktu kurang lebih 3 menit untuk para penonton bisa menuliskan apa yang mereka rasakan saat menonton film-film tersebut sebagai refleksi perasaan.
Selama kurang lebih 70 menit lamanya para penonton menonton 4 film tersebut, Ibu Sarita selaku Psikolog memberikan ‘ruang’ bagi para penonton untuk bercerita apa yang mereka rasakan setelah menonton 4 film tersebut. Terdapat beberapa perspektif dari guru, orang tua, dan anak.
- Perspektif Guru
“Saya di sini mewakili perspektif dari seorang guru. Sebagai guru, pastinya kami harus menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman untuk seluruh murid. Tapi itu saja tidak cukup, melainkan harus ada dukungan dari lingkungan rumah juga, alias keluarga. Pernah waktu itu saya minta murid-murid saya menuliskan perasaannya di secarik kertas sebelum waktunya pulang sekolah tiba. Ada salah satu murid saya yang menulis bahwa ia tidak mau dibanding-bandingkan, konteksnya di sini adalah dengan orang tua. Memang anak itu tidak perlu dibanding-bandingkan karena setiap anak punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing.”
- Perspektif Orang Tua
“Komunikasi dalam keluarga itu sangatlah penting. Perasaan seorang anak akan ‘terbuka’ apabila anak diberi rasa nyaman di rumah. Anak tidak akan terbuka kalau orang tuanya tidak mengajarkan anaknya untuk terbuka. Seharusnya tidak hanya anak saja yang mengerti, orang tua juga. Jika komunikasi dalam keluarga ini buntu, maka harus ada solusi baiknya seperti apa di era saat ini. Banyak sekali kasus bunuh diri di Gunung Kidul, jadi saya takut sekali kalau anak-anak remaja itu arahnya ‘ke sana’. Saya berharap, film-film ini bisa ditayangkan juga di Gunung Kidul.”
- Perspektif Anak
“Menurut saya, orang tua itu perlu menerima bahwa anak itu tidak harus selalu sama dengan orang tuanya. Misal, orang tua maunya ‘A’ tapi anak maunya ‘B’. Hal seperti ini tidak bisa dipaksakan karena yang sering terjadi saat ini itu orang tua hanya hadir secara fisik, namun tidak secara emosional alias kurang membersamai anaknya dan kurang mau memahami apa yang sebenarnya diinginkan anak. Beberapa kasus kriminal seperti bullying, pelecahan seksual, dan tawuran itu terjadi ketika pelaku kurang mendapatkan perhatian dari orang tuanya.”
Ibu Sarita selaku Psikolog menanggapi pernyataan dari para penonton, beliau membahas mengenai, “Apa yang harus dilakukan jika kita tidak menemukan orang-orang baik untuk memberikan kita dukungan untuk survive?” Dari banyaknya tanggapan dari para penonton, beliau menyimpulkan bahwa, setiap orang itu memiliki cara penanganannya sendiri, contohnya seperti memberikan ruang untuk diri sendiri agar kita bisa merefleksikan perasaan dan bisa berpikir jernih agar menjadi lebih positif. Kita harus paham bahwa isu kesehatan mental itu penting, maka tingkatkan awareness pada diri kita sendiri jika kita tidak menemukan pertolongan tersebut. Artinya, yang akan peduli dengan kita adalah diri kita sendiri.
Kegiatan serupa seperti ini dengan kapasitas penonton yang lebih terbatas juga kami wujudkan dengan adanya kegiatan “Ruang Teduh”. Kegiatan ini diadakan sebagai wujud kepedulian kami terhadap kesehatan mental kita semua. Ruang Teduh benar-benar akan memberikan kalian ‘ruang’ untuk bisa bercerita dari hati ke hati dengan teman-teman lainnya supaya kalian tidak merasa sendiri dan akan selalu merasakan ‘teduh’ dalam proses menyembuhkan diri sendiri.
————————————
Banyak sekali lho program-program yang dibuat oleh Yayasan Rumpun Nurani dalam usaha untuk memperhatikan kondisi kesehatan mental diri sendiri atau orang-orang yang ada di sekitar kita. Ada kampanye kesehatan mental #connecttocare yang dibersamai oleh Lembaga Advokasi Keluarga Indonesia, serta masih banyak lagi program-program lainnya.
Yuk, cek dan follow Instagram @rumpunnurani untuk tau lebih banyak kegiatan lainnya!