Ekspektasi orang tua terhadap anak, terutama dalam konteks tanggung jawab finansial keluarga, kadangkala menjadi sumber tekanan yang signifikan. Harapan-harapan yang tinggi, baik yang terucap maupun tersirat, dapat menciptakan beban psikologis yang berat bagi anak. Beban ini semakin terasa ketika kondisi ekonomi keluarga kurang stabil atau ketika orang tua memiliki utang yang cukup besar. Anak-anak, baik itu sulung, tengah, dan bungsu, merasa terdorong untuk segera mandiri dan berkontribusi secara finansial, bahkan sebelum mereka benar-benar siap atau memiliki peluang yang cukup.
Anak Sulung: Tiang Penyangga Keluarga yang Tak Terlihat
Ekspektasi yang tinggi seringkali menjadi beban tak terlihat bagi anak sulung. Sering dianggap sebagai panutan, anak sulung diharapkan untuk selalu berprestasi, dituntut untuk selalu unggul, dan menjadi panutan bagi adik-adiknya. Padahal, hal ini dapat memicu stres, kecemasan, dan bahkan masalah kesehatan mental jangka panjang. Beban ini semakin terasa ketika anak sulung diharapkan untuk menjadi sempurna dalam segala hal. Dalam jangka panjang, anak sulung yang terlalu terbebani dapat mengalami kesulitan dalam membangun hubungan interpersonal, kesulitan dalam mengambil keputusan, dan bahkan mengalami masalah kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan. Mereka mungkin tumbuh menjadi orang dewasa yang perfeksionis, takut gagal, dan sulit untuk menerima ketidaksempurnaan.
Dilema Anak Tengah di Antara Karier dan Tanggung Jawab Keluarga
Dalam konteks keluarga dengan lebih dari dua anak, anak tengah seringkali menjadi sorotan dalam pembahasan dinamika keluarga. Istilah “middle child syndrome” atau sindrom anak tengah telah populer digunakan untuk menggambarkan perasaan terabaikan, kurang diperhatikan, dan terjebak di antara kakak dan adik. Fenomena ini bukan tanpa alasan. Karena anak tengah “terjepit” di antara dua saudara, mereka seringkali didorong untuk tidak terlalu menuntut perhatian.
Ketika memasuki usia dewasa, anak tengah seringkali dihadapkan pada dilema yang cukup kompleks: mengejar karier yang menjanjikan atau memprioritaskan tanggung jawab keluarga. Di satu sisi, anak tengah memiliki ambisi untuk meraih kesuksesan dalam karier. Mereka ingin membuktikan diri, mencapai tujuan pribadi, dan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi keluarga. Namun, di sisi lain, mereka juga merasa bertanggung jawab untuk membantu orang tua dan saudara-saudaranya. Terutama jika orang tua mereka sudah berusia lanjut atau saudara-saudaranya masih membutuhkan dukungan finansial.
Anak Bungsu di Tengah Perubahan Ekonomi Keluarga
Anak bungsu yang tumbuh besar di tengah kondisi ekonomi keluarga yang ‘merosot’ seringkali merasakan beban ekspektasi yang cukup berat. Orang tua yang mungkin pernah menikmati masa kejayaan finansial, sering kali memiliki harapan agar anak bungsu dapat mengembalikan kejayaan tersebut.
Anak bungsu mungkin tumbuh dalam lingkungan yang jauh berbeda dari cerita-cerita masa lalu yang sering diceritakan orang tua mereka. Mereka mungkin tidak memiliki akses terhadap fasilitas yang sama, atau bahkan harus membantu meringankan beban keluarga. Hal ini dapat menciptakan tekanan psikologis yang signifikan. Di satu sisi, mereka ingin memenuhi harapan orang tua dan membuktikan diri. Di sisi lain, mereka juga harus berjuang untuk bertahan hidup dan menghadapi realitas ekonomi yang sulit. Konflik batin ini dapat berdampak pada kesehatan mental mereka, memicu perasaan tidak aman, dan mengurangi kepercayaan diri.
Dari Beban Menjadi Berkah: Transformasi Mindset Sandwich Generation
Peran sebagai sandwich generation, di mana seseorang harus memikul tanggung jawab finansial untuk orang tua, diri sendiri, dan saudara, seringkali terasa berat dan membebani. Namun, dengan mengubah perspektif dan melihat peran ini sebagai sebuah kesempatan untuk menjadi “perantara rezeki,” maka beban tersebut dapat berubah menjadi berkah. Ketika seseorang melihat dirinya sebagai perantara rezeki, maka fokusnya akan bergeser dari sekadar memenuhi kebutuhan finansial menjadi sebuah misi untuk mengalirkan rezeki dalam keluarga.
Mindset ini membawa sejumlah manfaat. Pertama, rasa ikhlas akan muncul ketika kita bekerja dan membantu keluarga. Rasa ikhlas ini akan membuka pintu rezeki yang lebih luas. Kedua, dengan melihat diri sebagai perantara rezeki, kita akan merasa lebih termotivasi untuk terus berusaha dan meningkatkan kualitas hidup keluarga. Ketiga, peran ini juga dapat mendewasakan seseorang. Mereka akan belajar mengelola keuangan dengan lebih baik, membuat keputusan yang bijak, dan membangun relasi yang lebih kuat dengan anggota keluarga lainnya.
Anak sulung, tengah, dan bungsu yang berada dalam posisi sandwich generation memiliki peran yang berbeda-beda. Anak sulung seringkali menjadi pemimpin dalam keluarga dan memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Dengan mengubah mindset menjadi perantara rezeki, anak sulung dapat menjadi contoh yang baik bagi saudara-saudaranya. Anak tengah dapat menjadi penyeimbang dan membantu meringankan beban orang tua dan kakak. Sedangkan anak bungsu dapat belajar mandiri dan berkontribusi bagi keluarga sejak usia dini.
Perubahan mindset ini tidak terjadi dalam semalam. Dibutuhkan kesadaran diri, kesabaran, dan dukungan dari lingkungan sekitar. Dengan terus berlatih dan menerapkan nilai-nilai positif, seseorang dapat mengubah beban menjadi berkah dan menjalani kehidupan yang lebih bahagia dan sejahtera.
Banyak sekali lho program-program yang dibuat oleh Yayasan Rumpun Nurani dalam usaha untuk memperhatikan kondisi kesehatan mental diri sendiri atau orang-orang yang ada di sekitar kita. Ada kampanye kesehatan mental #connecttocare yang dibersamai oleh Lembaga Advokasi Keluarga Indonesia, serta masih banyak lagi program-program lainnya.
Yuk, cek dan follow Instagram @rumpunnurani untuk tau lebih banyak kegiatan lainnya!